Jumat, 13 April 2012

Dana APBN Untuk Lapindo: Negara Mem-bailout Korporasi Besar

13342077901995888478
(foto : matanews.com)

Ketika Pemerintah menyatakan alokasi dana untuk subsidi BBM – yang nota bene dinikmati oleh hampir seluruh rakyat Indonesia dan dampaknya sangat sentral pada perekonomian rakyat – harus dikurangi agar APBN 2012 tidak jebol, ternyata pada saat yang bersamaan Pemerintah justru menaikkan anggaran negara yang dialokasikan bagi penanggulangan dampak semburan lumpur panas di Sidoarjo, yang diakibatkan oleh pengeboran minyak yang dilakukan olebh sebuah korporasi besar bernama Lapindo Brantas Incorporation (LBI).

Dalam UU APBN Perubahan 2012 (APBN-P 2012), bukan hanya pasal 7 ayat 6 (a) tentang BBM yang membolehkan Pemerintah melakukan penyesuaian harga jika rerata perubahan ICP mencapai 15% dalam kurun waktu 6 bulan, itu saja yang menjadi polemik. Rupanya, di pasal 18 juga ada perubahan dan tambahan butir (c) yang luput dari perhatian anggota DPR sehingga perubahan pasal tersebut disahkan. Pasal 18 (c) inilah yang kemudian disebut-sebut sebagai barter dan deal politik antara Partai Demokrat dengan Partai Golkar.

Bunyi pasal 18 (c) APBN-P 2012 itu menyebutkan bahwa bantuan kontrak rumah dan tunjangan hidup, serta biaya evakuasi dan pembayaran pembelian tanah dan bangunan di luar peta terdampak bisa diatur lewat Perpres. Ini mengubah kebijakan sebelumnya di mana pemerintah hanya membayari wilayah di dalam peta terdampak. Sebagai konsekwensinya, dana APBN yang dialokasikan untuk itu mencapai Rp. 1,6 Triliun, naik dibandingkan APBN tahun 2011. Penanganan lumpur Lapindo yang diambil langsung dari APBN itu dimulai setelah Peraturan Presiden No 14 Tahun 2007 terbit. Padahal, sebelum aturan tersebut dikeluarkan, dalam Keppres No 13 Tahun 2006 ditetapkan anggaran penanganan bencana lumpur Lapindo berasal dari Lapindo Brantas Inc. Berikut tabulasi dana yang telah dikucurkan negara untuk menanggulangi dampak lumpur Lapindo :
TAHUN
NILAI (Rp.)
TERSERAP (Rp.)
%-TASE SERAPAN
2007
505 Miliar
119 Miliar
23,56%
2008
1,1 Triliun
513 Miliar
46,67%
2009
1,147 Triliun
705 Miliar
61,5%
2010
1,216 Triliun
300 Miliar
24,6%
2011
1,3 Triliun
Belum ada data
2012
1,6 Triliun
Belum terlaksana
TOTAL
6,2 Triliun

Lihatlah bahwa anggaran negara yang ditetapkan oleh Pemerintahan SBY nilainya naik setiap tahun, sementara serapannya sangat rendah. Jika sudah terbukti serapannya rendah, kenapa Pemerintah selalu menaikkan alokasi anggarannya? Bukankah ini ganjil? Sekedar untuk diketahui, dana yang dibebankan sebagai tanggung jawab pihak Lapindo yang hanya Rp. 3,8 triliun dan tidak bakal bertambah lagi. Itupun, belum seluruhnya diselesaikan.

13342078771737909467
(foto : www.tempo.co)

Menurut data yang ada di BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo), proses pelunasan ganti rugi yang masih menjadi tanggung jawab PT Lapindo Brantas Incorporation melalui PT Minarak Lapindo Jaya hingga saat ini masih mandek. Nilai seluruh kewajiban Lapindo Rp 3,831 triliun, tetapi PT Minarak Lapindo Jaya (yang diberi kuasa untuk melakukan pembayaran ganti rugi kepada para korban) baru membayar Rp. 2,910 triliun, sehingga masih tertunggak Rp. 920,5 miliar. Lapindo, masih mengusahakan dana talangan dari Bank Jatim, namun Komisaris Bank Jatim Choirul Djaelani mengatakan sangat sulit bagi Bank Jatim untuk mencairkan pinjaman yang diajukan Lapindo. “Nilai pinjamannya hampir Rp 1 triliun. Kalau harus mengalihkan dana, misalnya, dari sektor pinjaman UMKM, tentu tidak mungkin,” katanya. Kalau ini terjadi, sangat kontradiktif dan bertentangan dengan iklan di media televisi dan di papan iklan yang bertebaran di seantero Nusantara bergambar Aburizal Bakrie – pemilik kelompok usaha Bakrie yang memiliki saham mayoritas di LBI – dalam balutan jas warna kuning, memberikan bantuan untuk pengusaha UMKM.
Bahkan Gubernur Jawa Timur Soekarwo telah berkirim surat resmi terkait sisa pembayaran ganti rugi terhadap korban Lumpur Lapindo di sejumlah desa di Porong, tetapi PT Minarak Lapindo Brantas hingga kini tidak mengindahkan surat Gubernur itu. Sedemikian hebatnya sebuah korporasi bisa melecehkan kekuasaan dan kedaulatan pemerintah Propinsi. Padahal menurut Guibernur pada bulan Mei ini harus dibayar semua. Tidak adanya jawaban dari Minarak Lapindo, membuat Gubernur tak bisa berbuat apa-apa jika para korban berdemo.

Sedemikian tak berdayanyakah Pemerintah terhadap Lapindo? Sampai-sampai negara suka rela mengambil alih tanggung jawab dan kewajiban LBI. Sekedar pembanding, dalam kasus bencana pengeboran minyak di Teluk Meksiko yang dilakukan oleh British Petroleum (BP), perusahaan tambang itulah yang dituntut untuk bertanggungjawab penuh atas segala upaya penanggulangan dampaknya. Dalam pengeboran itu terjadi kebocoran sehingga menyebabkan semburan minyak tumpah ke laut, menyebabkan pencemaran dan juga korban jiwa, Presiden Barrack Obama dengan tegas menyatakan Pemerintahannya tak akan menyerah memaksa BP untuk menghentikan semburan minyak, berapapun biayanya! Jika tidak, Obama bertekad akan menyeretnya ke meja hijau. Akhirnya, BP mengucurkan dana sebesar +/- $ 2,5 Miliar USD atau setara lebih dari Rp. 20 Triliun selama jangka waktu 3 bulan semburan itu berhasil diatasi.
13342079682129335555
(foto : masif.wordpress.com)

Sekali lagi kuncinya hanya ketegasan Pemerintah yang berdaulat. Masalahnya, maukah Pemerintahan Presiden SBY melakukan penekanan pada LBI? Jika SBY mau, maka pasti bisa. Hanya saja menurut pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga, Tjuk Kasturi Sukiadi, ada politik ekonomi yang terjadi antara SBY dengan Ical, perihal semburan lumpur Sidoarjo yang bermula dari eksplorasi PT. Lapindo Brantas, perusahaan pertambangan milik Ical. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie dituding telah melakukan konspirasi untuk menetapkan status semburan lumpur Sidoarjo sebagai bencana alam.

“Semua yang terjadi sekarang ini hanya derivatif saja, fungsi turunan dari persekongkolan awal. Di 2004 kan kita lihat bagaimana SBY naik (jadi Presiden). siapa yang biayai itu? Kan kelihatan. Dari sana semuanya terjadi,” kata Tjuk saat dihubungi Selasa (10/4). Tjuk menyebut bahwa Bakrie merupakan salah satu pendana dalam kampanye SBY dalam pemilu 2004 silam. Semenjak saat itu, SBY dan Bakrie, dikatakan Tjuk terlibat dalam konspirasi terselubung. “Ini yang membuat saling menyandera antara keduanya. Termasuk partainya, berkoalisi tapi saling menyandera, kalau perlu negosiasi. Itu merupakan bumbu-bumbu selanjutnya saja,” kata Pendiri Lembaga Advokasi Gerakan Menutup Lumpur Lapindo itu.

Dulu semasa periode pertama Pemerintahan SBY, yang selalu tegas menyatakan tak ada dana negara untuk Lapindo adalah Wakil Presiden Jusuf Kalla. Meski akhirnya dalam Rapat Dengar Pendapat di Komisi VII DPR RI periode 2004 – 2009 akhirnya diputuskan bahwa kasus luapan lumpur ini adalah bencana nasional, sebenarnya tak lebih dari kongkalikong para “wakil rakyat” yang saat tu sidangnya dipimpin oleh kader Golkar. Kini, seolah tak ada lagi yang mengerem, dalam periode kedua Pemerintahan SBY, dana APBN makin dikuras untuk menanggulangi bencana pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo.
Tak terbayangkan kalau pada 2014 nanti Ical terpilih jadi Presiden, mungkin sebagian besar dana APBN yang nota bene adalah uang rakyat, didapat dari pajak yang dibayar rakyat, akan digunakan sebanyak-banyaknya untuk menanggulangi resiko yang dilakukan oleh korporasi miliknya. Sekarang, 2 tahun menjelang 2014, “pemanasan” kampanye telah dimulai. Pihak Ical tentu sadar benar bahwa kasus luapan lumpur panas Lapindo itu akan jadi issu terbesar yang bakal mengganjal pencalonannya. Maka, semua upaya dikerahkan untuk menggiring opini publik bahwa apa yang dilakukan Pemerintah dan Lapindo itu sudah benar.

1334208085645928214
(foto : foto.detik.com)

Termasuk media Kompasiana. Pekan lalu muncul sebuah tulisan terkait kasus lumpur Lapindo yang jelas membela keluarga Bakrie, penulisnya seorang Kompasianer yang tanggal bergabungnya baru pada hari ia menulis. Anehnya, sebagai newbie tiba-tiba tulisannya telah menuai voting dengan nilai 14 dari 14 Kompasianer menilai Aktual sehingga tulisan itu tiba-tiba nangkring di kolom Teraktual. Ironisnya, jika benar banyak yang menilai positif, ternyata komentar yang ada justru hampir semuanya bernada negatif dan melawan isi tulisan tersebut.

Penulisnya kemudian membabat habis komentar-komentar yang tak sesuai kehendaknya, meski komentator menyertakan data-data. Ada beberapa Kompasianer yang memberikan komentar membela penulis yang semuanya senada, ternyata memiliki tanggal gabung di Kompasiana yang sama atau berdekatan. Dan umumnya baru memiliki 1-2 tulisan, yang menyangkut keluarga Bakrie. Keanehan lain, meski akun-akun pembela itu sudah bergabung di Kompasiana beberapa bulan lalu, tak satupun dari mereka yang memiliki pertemanan. Aneh bukan?! Kampanye sudah dimulai, kawan! Komentar yang tak sesuai pesanan Boss harus dibabat habis.

Referensi :


by : Ira Oemar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar