Minggu, 13 November 2011

POLITIK ANAK MUDA


ADAKAH sosok pemuda Aceh yang berani mencalonkan diri sebagai kandidat walikota, bupati atau gubernur di Pilkada nanti? Memang tidak sedikit anak muda Aceh yang berkecimpung di dunia politik. Terutama menjelang Pilkada, semakin banyak dari mereka yang sangat antusias untuk terjun langsung dan terlibat dalam kegiatan politik praktis.

Bergejolaknya nafsu politik kaum muda Aceh, sebagaimana juga terjadi pada pemuda-pemuda di daerah-daerah lain, adalah sebuah fenomena yang menandakan bahwa semakin banyak anak muda yang mulai sadar untuk melepaskan rantai apatis terhadap politik yang selama ini sengaja mereka ikat ke leher mereka.

Kini banyak dari mereka yang mulai sadar bahwa menjadi pembaca Koran saja tidak cukup, bukan jamannya lagi hanya menjadi penonton drama-drama politik yang tokoh-tokohnyanya didominasi oleh kaum tua. Pemuda juga harus bisa masuk Koran dengan menampilkan gagasan-gagasan cemerlang mereka di tengah dominasi gagasan-gagasan usang yang muncul dari pemikiran kaum tua.


Pertanyaan yang ada pada bagian awal tulisan ini, bisa saja jawabannya adalah  “tidak ada” jika ternyata keberanian dan kemampuan anak muda Aceh hanya sebatas menjadi timses, pemasang spanduk kampanye di jalan-jalan, mendirikan organisasi underbouw pendukung kandidat atau menjadi pembantu untuk pemenangan “kandidat tua”. Kalau dulu banyak anak muda Aceh yang berani berdiri di garis terdepan medan perang, kenapa saat ini tidak ada yang berani mencalonkan diri sebagai kandidat walikota, bupati atau gubernur? Jika saat konflik dulu mereka berani melempar granat, kenapa sekarang tidak berani melempar gagasan-gagasan mereka untuk memajukan Aceh?

Hari Sumpah Pemuda yang diperingati setiap tanggal 28 Oktober haruslah menjadi renungan bagi semua pemuda. Semangat pemuda harus ditonjolkan dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk politik. Pemuda selalu identik dengan sikap kritis, pemikiran-pemikiran yang progresif dan semangat juang yang tinggi. Semangat kaum muda tidak boleh hanya sekedar semangat menggali lubang untuk menancapkan tiang penyangga spanduk kampanye. Kaum muda harus berani dan bersemangat untuk tampil sebagai kandidat.

Tokoh-tokoh lama masih menjadi the big player dalam perpolitikan Aceh. Terutama dalam Pilkada. Nama-nama yang muncul di Pilkada 2006 kini  beraksi kembali. Bahkan ada juga dari mereka yang kalah dalam ajang perebutan kursi legislatif kini mencoba mengadu nasib dengan menjadi kandidat di Pilkada. Demikian pula dengan incumbent, semangat mereka tak pernah pudar untuk mempertahankan kursi kekuasaan, sekalipun sebenarnya sudah tak layak.

Proses regenerasi dalam politik sangat diperlukan. Ketika orang tua tidak sempat untuk memikirkan bagaimana caranya memberdayakan kaum muda, maka kaum muda lah yang harus memikirkan mereka sendiri. Kalau tidak, kekhawatiran Gramsci bisa saja terjadi di Aceh. Gramsci mengatakan bahwa “ada suatu waktu di mana terjadi ‘krisis otoritas’ –krisis hegemoni– di mana yang tua sudah mati dan yang muda belum lahir”.

Hal yang diungkapkan Gramsci tersebut bukannya tidak mungkin akan terjadi kalau gagasan-gagasan kadaluarsa dari kaum tua terus mendominasi sementara kaum muda sama sekali belum punya gagasan mereka sendiri. Kaum tuan akan terus selalu mempertahankan hegemoninya karena mereka menganggap kaum muda masih belum matang. Sebenarnya pandangan-pandangan seperti inilah yang harus dilawan kaum muda dengan cara membuktikan diri kalau mereka lebih mampu dari kaum tua.

Akan tetapi, peran kaum tua bukannya tak dibutuhkan. Pengalaman-pengalaman mereka sangat berguna untuk dijadikan kaum muda sebagai referensi, bukan sebagai sesuatu yang harus tetap dianut. Yang baik dan benar harus tetap dipertahankan, sementara kelemahan-kelemahan serta keburukan-keburukannya harus diperbaiki. Kaum muda tentu tidak boleh mengadopsi semangat yang kaum tua yang mulai keriput, kaum muda harus punya semangat tersendiri yang tidak kaku, progresif bahkan revolusioner.

Hari Sumpah Pemuda bukanlah sekedar persoalan sumpah semata, tapi juga soal komitmen, kemauan dan keberanian para pemuda untuk membangun bangsa dan negara. Pemuda tidak akan pernah bisa mewujudkan itu kalau terus-terusan menjadi bahan bakar mesin politik kaum tua. Pemuda harus menjadi penggerak mesin.

Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap kaum tua, sudah seharusnya saat ini kaum muda berani “menggeser” kaum tua yang telah lama menghegemoni kekuasaan. Kaum muda harus berani menjadi pemimpin. Tetapi kaum muda tidaklah boleh durhaka dengan melupakan kaum tua. Kaum tua bisa berperan sebagai penasehat atau mengingatkan kaum muda ketika telah melangkah keluar jalur. Saran-saran dan petuah-petuah mereka tidak boleh diabaikan.

Kaum tua akan selalu pintar membela diri. Mereka akan berargumen bahwa sekalipun mereka sudah tua, namun semangat mereka masih semangat anak muda. Apa pun bentuk pembelaan diri kaum tua, yang usang tetaplah usang dan harus diganti dengan pemikiran-pemikiran segar yang dilahirkan kaum muda. Masalahnya, adakah anak muda Aceh yang berani menjadi kandidat pesaing kaum tua di Pilkada nanti? Kalau tidak ada, berarti pemuda Aceh masih gemar menyantap ide usang dari pemimpin-pemimpin tua yang tidak visioner.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar