Dalam
prosesi wisuda sering dinyanyikan bermacam-macam lagu, dari “Indonesia
Raya”, mars dan himne universitas, lagu nasional, hingga pop
kontemporer sebagai suplemen. Mahasiswa pun terhanyut karena bangga
dapat menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi (PT) di tengah
kemerebakan komersialisasi pendidikan. Muncul pula keangkuhan karena
menganggap dengan gelar S1 bakal gampang meraih segalanya. Mereka
beranggapan, ijazah adalah ikon penghasil kehidupan. Pihak kampus pun
terlena dengan pesta besar dunia kampus.
Lebih
ironis, andai jajaran rektorat berpikir ikut-ikutan dalam labirin
“akad” S1. Padahal, saya membayangkan saat wisuda, paduan suara
mahasiswa sebaiknya menyanyikan lagu “Sarjana Muda” karya Iwan Fals.
Itu penting. Mengapa? Tujuannya, agar mahasiswa merenung sejenak:
selanjutnya hendak berlayar ke mana? Jajaran dan segenap sivitas
akademika pun semsetinya bersikap realistis; tak terlena dalam euforia
mahasiswa yang hendak diwisuda.Sarjana yang diceritakan Iwan Fals dalam
lagu “Sarjana Muda” merupakan renungan mendalam dan bermakna. Namun
agaknya lagu hit yang dirilis tahun 1981 dalam album Sarjana Muda itu
tergolong najis untuk dinyanyikan saat wisuda karena liriknya berisi
paradoks dan ironi.Lumrahnya, sarjana yang pintar (diukur dengan IPK
tinggi, lulus cepat atau tepat waktu) cepat pula terserap di dunia
kerja.
Namun
“Sarjana Muda” menggambarkan betapa sarjana pintar justru sulit
memperoleh pekerjaan. Padahal, dia sudah berjalan gontai tak tentu
arah, sambil menatap awan berarak dengan wajah murung. Jaket pun lusuh
bercampur keringat dan debu jalanan. Sang sarjana putus asa dan
berkata, “Maaf, Ibu.” Sebab, dia merasa gagal membahagiakan sang ibu
yang menyekolahkan bertahun-tahun (Iwan Fals, 1981).
Lirik itu jelas berbanding arah dengan suasana dalam prosesi wisuda.Rektor dengan percaya diri maju ke podium, memberikan sambutan, pengarahan, lantas memimpin pengucapan ikrar alumni untuk selalu menjaga nama baik almamater. Semua dikondisikan serba sempurna, seolah-olah setelah wisuda, para wisudawan bisa langsung berkiprah di dunia praksis yang (konon) merupakan pengabdian pada bangsa dan negara.
Lirik itu jelas berbanding arah dengan suasana dalam prosesi wisuda.Rektor dengan percaya diri maju ke podium, memberikan sambutan, pengarahan, lantas memimpin pengucapan ikrar alumni untuk selalu menjaga nama baik almamater. Semua dikondisikan serba sempurna, seolah-olah setelah wisuda, para wisudawan bisa langsung berkiprah di dunia praksis yang (konon) merupakan pengabdian pada bangsa dan negara.
Faktanya
tidak demikian. Seusai diwisuda, mayoritas sarjana menambah angka
penganggur terdidik dengan grafik berfluktuasi setiap tahun. kampus
juga setengah hati memfasilitasi alumnus. Setelah mengobral, memperoleh
untung, berkuranglah tanggung jawab PT. Beberapa kampus memang
membentuk study advisory centre (SAC), semacam badan yang mengurusi
dunia kerja dan membuka jaringan antara perusahaan, kampus, dan
alumnus. Namun kebanyakan fasilitas itu sekadar formalitas. Kondisi itu
membuat kampus berkesan “lepas tangan” atas nasib alumnus. Karena itu,
ucapan Iwan Fals, “Engkau sarjana muda, lelah mencari kerja/Sia-sia
ijazahmu/Empat tahun lamanya bergelut dengan buku”, tak ubahnya kotoran
dari industri pendidikan yang tak hendak lagi dilihat oleh PT yang
meluluskan karena dianggap tak berguna.Padahal “sekotor” apa pun,
sarjana tak beruntung itu pernah jadi bagian dalam proses “metabolisme”
di perut industri pendidikan tinggi. Bagaimana, kelak, nasib sarjana?
Hanya tuhan yang tahu.
Suryono Briando Siringo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar