Selasa, 08 November 2011

Kaum Muda Memimpin?

Politik menjelang 2014 kian gaduh. Padahal kini masih tersisa tiga tahun, tetapi bendera start menuju kursi R1 sudah dikibarkan.  Partai Golkar, misalnya, sudah menjagokan sang ketua umum Aburizal Bakrie. Bahkan mesin politik ini sudah menyiapkan strategi untuk membangun pencitraan Ical, sapaan Aburizal Bakrie.
  
Nama lain bakal menjadi pesaing Ical. Hasil beberapa survei tetap memunculkan nama-nama "tradisional" macam Megawati Soekarnoputri, Wiranto, Prabowo Subianto, hingga M Jusuf Kalla. Menariknya, survei juga mencuatkan nama dari kaum muda. Inilah yang kemudian memicu wacana yang meminta generasi tua mundur dari panggung kepemimpinan nasional, dan memberi kesempatan kepada kaum muda. Generasi tua disarankan untuk "pensiun" saja. Biarlah kaum muda berkesempatan memimpin negeri ini.
  

Atas wacana itu muncul pandangan pesimistis, adakah kaum muda yang layak untuk jadi pemimpin nasional? Ada alasan kuat dalam pandangan pesimistis ini. Setidaknya hasil survei Lingkar Survei Indonesia (30/10/2011) menguatkan bahwa kaum muda belum diminati. LSI menggolongkan kaum muda adalah mereka di bawah usia 50 tahun. Hasilnya, dukungan publik terhadap kaum muda untuk maju pada Pilpres 2014 hanya di bawah tiga persen! Bahkan 37,6 persen responden menyebutkan politisi muda sama buruknya dengan politisi senior. Dari sinilah muncul pertanyaan sinis, "Kaum muda memimpin?"
  
Pertanyaan sinis itu juga diperkuat dengan fakta bahwa partai politik tak mau memunculkan kader muda mereka. Sebenarnya, sisa waktu tiga tahun menuju 2014 terhitung cukup untuk menjaring kaum muda yang potensial menjadi pemimpin. Parpol sudah bisa menjaring kader-kader potensial. Tetapi sayangnya, generasi tua yang sudah lama membangun partainya, merasa lebih cocok tampil. Maka hilanglah kesempatan kader muda mereka.
  
Belum lagi jika dipertimbangkan dengan alat ukur tertentu, pesimisme itu bakal kian menebal. Salah satu alat ukur dimaksud adalah kadar intelektual. Jujur saja, kadar intelektual ini acap diragukan. Padahal para pendiri bangsa ini adalah mereka yang menjunjung tinggi intelektual tersebut. Bukankah calon pemimpin musti berpijak kepada rekam jejak pendiri bangsa?
  
Intelektual?  Selama ini banyak di antara kita beranggapan bahwa intelektual itu sejalan dengan tingkat pendidikan. Semakin tinggi pendidikan seseorang, kian tinggi kadar intelektual tersebut. Sejatinya bukan selalu begitu. Secara filosofis, mereka yang menjalankan fungsi intelektual adalah mereka yang bersikukuh dengan hati nurani. Seseorang berhati nurani ketika ia berkesadaran moral, yakni sadar bahwa ia mutlak memilih yang benar. Kesadaran ini berasal dari diri sendiri, dan tidak dapat ditawar-tawar.
  
Mereka yang tulus menjalankan fungsi intelektual sudah barang tentu harus mengalahkan pergolakan batin dan menempatkan hati nurani sebagai pemenang. Rasanya benar jika Vaclav Havel berpandangan kaum intelektual itu merupakan hati nurani bangsa.
  
Secara ekstrem kaum intelektual itu akan membuang jauh-jauh pragmatisme demi menjunjung idealisme. Namun bukan rahasia lagi bahwa partai politik merupakan kendaraan bagi para calon pemimpin. Dukungan infrastruktur parpol ini ibarat jalan lempang sampai ke kursi kepemimpinan. Oleh karena itu, anggapan banyak orang, siapapun yang ingin menjadi pemimpin,  ia tidak bisa meninggalkan peran parpol. Artinya, kaum muda yang berhasrat jadi pemimpin, mereka musti memilih parpol tertentu.
  
Celakanya kendaraan parpol itu berpenumpang kaum pragmatis. Politik bukan untuk mengabadikan diri, apalagi mengabdikan diri, tetapi untuk memanjakan diri. Mereka sungguh mengabaikan peringatan Aristoteles, bahwa aktif dalam berpolitik menjadi baik sejauh tidak diperbudak proses biologis. Justru yang terjadi adalah "perbudakan biologis".
  
"Perbudakan biologis" itu menempatkan ”kesenangan tubuh lebih baik daripada kesenangan jiwa”. Lalu, tubuh dimanjakan dengan materi sehingga menimbulkan kesan bahwa urusan perut adalah segalanya. Ketika politisi diperbudak proses biologis, aktivitas politik jadi mata pencarian. Untung rugi dan kepentingan pribadi menjadi tolok ukur. Mereka berpendapat, adalah politisi tolol jika tak mendapat keuntungan duniawi.
  
Sejalan dengan pemikiran itu maka celaka jika politik dianggap melulu sebagai pekerjaan. Kemudian yang terjadi adalah urusan orang banyak akan terabaikan. Sejatinya politik bukan sarana untuk meningkatkan kesejahteraan, tetapi untuk mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam politik, yaitu kebebasan, kesetaraan, keadilan, dan solidaritas.
  
Bolehlah beranggapan bukan zamannya politisi tak memikirkan urusan perut. Alangkah bagusnya jika anggapan itu ditempatkan secara proporsional. Artinya, urusan rakyat juga diperhatikan. Ada perimbangan saat menikmati fasilitas negara dan seberapa besar kontribusi yang diberikan bagi kesejahteraan rakyat.
  
Perbudakan biologis ini yang senantiasa mengancam intelektual kaum muda. Banyak di antara kaum muda ini beranggapan buat apa bersusah payah berpolitik jika bukan demi kepuasan duniawi. Kekuasaan adalah akses, dan tentu saja sangat disayangkan bila akses itu tak dimanfaatkan demi kepentingan pribadi atau golongan. Inilah godaan utama untuk menjalankan fungsi intelektual dimaksud.
  
Tentu saja sangat disayangkan jika mereka yang selama ini menjalankan fungsi intelektual itu "kalah" dalam pergolakan batin untuk mengikuti pragmatisme. Ini sama artinya kaum muda  telah kehilangan hati nurani. Lantas, siapa yang bakal secara mutlak memilih yang benar? Jika semua kompromis dalam menegakkan kebenaran, bangsa ini kian terbenam dalam kubangan pragmatisme. Semua diukur dengan "kepentingan pribadi", ketimbang "kepentingan orang banyak". Kemudian yang terjadi, rakyat hanya gigit jari menonton berbagai kalangan berebut akses. Lebih celaka jika kaum muda yang digadang-gadang menjadi calon pemimpin malah bergabung dengan "kalangan yang berebut akses"!
  
Oleh sebab itu, tak berlebihan muncul pandangan pesimistis. Tak berlebihan juga jika pertanyaan sinis acap terngiang-ngiang, "Kaum muda memimpin?". Tetapi pandangan pesimistis itu harus diberangus. Salah satu cara, masyarakat sipil musti membuat gerakan untuk memunculkan kamu muda ke permukaan. Kita bisa memulainya dari dunia maya agar lama-lama meloncat ke dunia realita! (*)

Toto Suparto
Esais, e-mail puskabjogja@yahoo.com












http://news.okezone.com/read/2011/11/02/58/523675/kaum-muda-memimpin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar