Kamis, 03 Mei 2012

Bebaskan Bangsa Ini dari Belenggu Para Pelaku Koruptor

Dari waktu ke waktu, tingkat kejahatan korupsi sudah semakin mengkhawatirkan. Kendati berbagai upaya telah dijalankan, namun budaya korupsi tetap saja kian merajalela. Bahkan mulai merambah sampai ke berbagai instansi di seluruh pelosok nusantara. Berbagai lembaga penegak hukum juga telah dibentuk, namun sampai saat ini hal itu belum mampu memberikan tanda-tanda akan meredamnya perilaku korup. Apalagi sampai saat ini, pemerintah terkesan masih fokus pada pemberantasan semata, sementara upaya pencegahan hampir terlupakan.

Sampai kapan bangsa ini akan bebas dari segala bentuk praktik korupsi?.  Secara sederhana mungkin pertanyaan ini selalu terdengar dalam setiap perbincangan. Sangat wajar rasanya tiap-tiap orang dalam konteks komunitas masyarakat di berbagai kesempatan akan selalu menarik wacana tersebut untuk diperdebatkan. Di kantor, di warung kopi pinggir jalan, dan dalam setiap aktifitas keseharian di lingkungan kerja, di pasar-pasar hingga bahkan di balik jeruji sekalipun akan selalu membicarakannya secara vulgar. Benar, saking fenomenalnya masalah korupsi ini banyak para napi di bilik penjara sampai geram dibuatnya. Kendati untuk sementara memang mereka terkekang secara fisik, namun tidak menutup kemungkinan mereka juga merasa apriori. Mereka beranggapan bisa jadi akibat maraknya praktek korup di negeri ini jatah kelayakan hidup mereka menjadi berkurang.
Anjing menggonggong kafilah akan tetap berlalu. Biar saja masyarakat geram, menggerutu, dongkol dan bahkan menyumpah serapah terhadap para koruptor, asal praktek korupsi itu tetap dapat terlaksana dengan lancar. Demikian kiranya bisikan para pelaku korup di negeri yang sangat menjunjung tinggi hukum ini. Mahasiswa berdemo berkumpul dan berorasi, bergumul dengan jilatan sengat matahari, membentangkan spanduk dan poster tinggi-tinggi dan berteriak dengan lantang seharian menyuarakan aspirasi masyarakat margin korban korupsi dihadapan para pemilik kepentingan, seakan terus jadi pemandangan biasa di negeri ini. Orang-orang miskin bertambah, angka pengangguran meningkat. Jadilah kesenjangan sosial yang semakin menyilaukan mata. Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin menderita.
Nyaris tak ada lagi tempat di negara kita yang lolos dari praktek korupsi. Semua lini, apalagi yang menyangkut urusan publik kini jadi lahan empuk para oknum untuk menggerus uang rakyat secara tak halal. Berbagai program tentang kemaslahatan rakyat di sulap sedemikian rupa agar dalam prakteknya bisa menguntungkan oknum tertentu. Kongkalikong dengan oknum lainnya untuk semakin menerabas segala kendala yang mungkin dihadapi. Maka tak heran lagi praktek korup antar instansi akhirnya akan lahir. Penghulunya satu namun pengikut dan pendukungnya yang banyak.
Atas nama birokrasi dan prosedural teknis para oknum itu kemudian mengkebiri kesejahteraan rakyat secara massif. Perlahan namun pasti dari aparatur birokrasi pemerintah dalam posisi paling rendah hingga tingkat pejabat eselon kelas wahid. Belum lagi para oknum politisi, anggota dewan, oknum pengusaha korporasi dan lain sebagainya. Akhirnya masyarakat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi demokrasi itu sendiri hanya dijalankan sebagai simbol pragmatismenya ambisi masing-masing mereka. Posisi rakyat mampu ditebus dengan dahsyatnya lobi-lobi tingkat tinggi. Parahnya lagi ketika masyarakat itu ingin berkeluh kesah tentang segala ketidakadilan itu di hadapan hukum, sebagian oknum penegaknya malah murtad, berkonsolidasi tak lazim, bermufakat dengan para koruptor itu.
Maka wajar saja kalau sebagai kalangan menyebut Indonesia sebagai surga bagi para koruptor. Oleh karena itulah diperlukan suatu upaya konkrit yang tegas dan luar biasa untuk membuat efek jera bagi pelaku perampokan itu. Namun tetap saja yang kita saksikan sungguh masih jauh panggang dari api. Alih-alih hukuman maksimal dari tuntutan. Berbagai obral remisi hingga pembebasan bersyarat kerap dibagikan. Kita tak pernah tahu ada udang dibalik batu. Sungguh belakangan ini warna-warni kehidupan sangat beragam. Jika pada masa kecil dulu penulis mengingat masih menggunakan pecahan uang Rp 25.- untuk membeli mi goreng berbungkus daun pisang di kampung halaman, namun kini seolah sudah sangat jauh berbeda. Uang sebanyak 100 ribu rupiah kalau sudah pecah akan sangat mudah menghabiskannya. Tidak sampai kita mengingat apa saja yang telah kita belanjakan. Segalanya kini sudah berubah serba mahal, sebaliknya untuk mendapatkan uang itu sendiri sebagai penghasilan hidup sangatlah susah.
Segala kebutuhan mesti ditebus dengan sejumlah uang. Pendidikan yang memadai, tempat tinggal yang layak, konsumsi yang sehat dan sedikit hiburan sebagai relaksasi. Kita tak pernah tahu apa yang ingin dicapai para koruptor di negeri ini. Seakan ambisi tanpa mengenal batasan dan ta peduli terhadap kondisi orang lain yang semakin merana.
Tapi sejatinya kita, seluruh rakyat di negeri ini masih tegas berfikir baik dan jernih, Masih tetap berjuang membebaskan bangsa ini dari belenggu para pelaku koruptor. demi terwujudnya pemerintahan yang bersih dari pelaku korup itu. Mudah-mudahan negeri ini kelak benar-benar mampu terbebas dari para pelaku korup tersebut. Semoga saja dalam waktu yang dekat.






Suryono Briando Siringo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar