Kamis, 11 Agustus 2011

Sebagai mahasiswa boleh idealis tapi ingat kehidupan politik bs merubah idealisme seseorg.

"Meneropong Apatisme dan Pragmatisme Mahasiswa dalam Kehidupan Kampus"
Pendahuluan
Pragmatisme merupakan kepercayaan bahwa kebenaran atau nilai suatu ajaran (paham, doktrin, gagasan, pernyataan,dsb) bergantung pada penerapannya bagi kepentingan manusia dan seringkali mampu memberikan penjelasan yang berguna terhadap suatu permasalahan dengan melihat sebab akibat berdasarkan kenyataan untuk tujuan praktis. [1] Sedangkan apatisme biasa muncul untuk merefleksikan sikap yang acuh tidak acuh dan ketidakpedulian terhadap suatu permasalahan atau keadaan yang terjadi. [2] sekalipun bertolak berlakang, kata-kata tersebut merupakan dua istilah ladzim yang biasa dipakai oleh banyak orang untuk menggambarkan kekecewaan dan keadaan yang semakin menurun dari aktifitas yang biasa dilakukan.
Pragmatisme dan apatisme sudah mulai banyak menghinggapi sikap dan tindakan kaum-kaum muda intelektual bangsa dalam menilai suatu permasalahan baik yang terjadi di dalam ruang lingkup terdekat mereka di dalam dunia pendidikan seperti kampus dan secara bersamaan mampu memaksa kampus sebagai wadah pendidikan profesional untuk memenuhi berbagai macam tuntutan mahasiswa yang ada. Kaum-kaum tersebut beranggapan bahwa hal tersebut sebagai sesuatu hal yang lumrah di dalam era tuntutan ini. Mengapa? Karena percepatan arus teknologi yang tanpa batas dan arus informasi yang men”dewa”kan kebebasan berekspresi; tidak membatasi setiap orang untuk menuntut haknya mendapatkan akses informasi yang tersedia. Dengan adanya globalisasi, dan tersedianya banyak layanan untuk menerima unsur-unsur globalisasi; seringkali menjadikan kampus memperketat birokrasi yang ada untuk menahan lajur arus globalisasi tersebut.
Terpusatnya dosen-dosen dengan banyak gelar di satu tempat, dan lengkapnya akses atau peralatan pendidikan yang di terima di dalam suatu kampus, juga menjadikan sikap instan dan tanpa berfikir panjang menghinggapi kaum-kaum muda intelektual. Akibatnya, keinginan untuk mendapatkan kekuasaan terhadap suatu jabatan, dilakukan tanpa adanya persaingan yang bersih. Salah kaum elitkah? Mengingat rakyat bawah yang berkecenderungan untuk selalu mengikuti sikap dan tindakan kaum elitnya; atau mungkin salah rakyat bawah yang melakukan tindakan kaum elit tanpa memfilter terlebih dahulu apakah tindakan tersebut patut untuk ditiru atau tidak? Salah siapa dan mengapa, semakin besarnya sikap pragmatisme dan apatisme mahasiswa di dalam kehidupan kampus.
Tiga Kebijakan Kehidupan Kampus Masa Kini
Kampus, identik dengan kehidupan akademik. Kehidupan mahasiswa yang beragam dan unik, serta dalam setiap langkahnya pasti membawa cerita yang berbeda. Ada beragam sisi yang bisa kita lihat, sisi yang mampu membawa setiap insan mahasiswa yang terlibat di dalamnya untuk bercengkrama, berdiskusi, berpolitik kampus, ataupun hanya sekedar datang dan pulang tanpa membawa kesan. Setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh kampus, seringkali dijadikan sebagai ajang perdebatan mengenai seberapa besar kepentingan mahasiswa terpenuhi dan seberapa tersalurkannya aspirasi mereka atas kebijakan itu sendiri.
Kampus, memiliki dunianya sendiri. Dunia dewasa yang penuh tantangan dan pilihan untuk memilih (being a winner or a looser). Dunia bagi mahasiswa untuk mencari dan membentuk jati dirinya. Suka ataupun tidak, hal tersebut memang terjadi di dalam kampus, dan memaksa banyak orang untuk mulai berfikir apa yang ada di dalam kehidupan kampus dewasa ini.
Pesta, buku dan cinta. Tiga paket kebijakan yang tidak pernah lepas dalam kehidupan kampus, dan identik dengan kehidupan mahasiswanya. Pesta bisa di artikan secara harafiah ataupun secara occasionally disesuaikan dengan keadaan yang terjadi. Tetapi, pesta sudah diidentikkan dengan keadaan bersenang-senang untuk menghabiskan uang dan mendapatkan kepuasan sesaat untuk kemudian ‘menagih’ pada hari-hari berikutnya. ‘Menagih?’ Well, itu kata-kata bagus yang penulis rasa bisa dimasukkan juga untuk membahas tiga paket kebijakan tersebut secara lebih detail.
Bersenang-senang atau pesta bisa dilakukan dengan banyak cara. Dengan didukung oleh jiwa muda mahasiswa yang menginginkan kebebasan dan penuh dengan sikap pemberontakan, pesta merupakan kegiatan menunjang yang mampu membawa aura orang dewasa untuk menjadi lebih muda dan bergairah. Adanya banyak kategori pesta yang bisa diartikan disini. Misalnya saja, pesta dugem. Dengan alunan musik, suasana malam yang dingin dan minuman beralkohol yang menghangatkan; pesta memiliki keistimewaan tersendiri. Dengan didukung oleh faktor masalah kehidupan yang berat dan keinginan untuk melepaskan beban permasalahan menumpuk, memaksa banyak orang untuk memilih pesta dugem sebagai salah satu alternatif yang dirasa mampu memenuhi sisi kesenangan yang hilang.
Musik memang tidak pernah lepas dari pesta, karena dengan musik, pesta yang diadakan menjadi lebih meriah dan tentunya saja menjadi lebih menyenangkan. Mahasiswa terus terang sangat menggandrungi musik dan mencari aliran musik yang sudah tentu sesuai dengan kepribadiannya. Munafik jika ada orang yang menyatakan dirinya tidak suka musik. Di dunia dugem, musik dialunkan untuk membawa pecinta dugem berbaur dengan komunitasnya. Selain itu, dinginnya malam dan minuman alkohol, merupakan pelengkap yang direfleksikan sebagai kekuatan dunia dugem yang dicari. Jenuhnya keseharian di dalam kampus, deadline tugas yang menumpuk, masalah organisasi dan percintaan yang tidak kunjung usai, merupakan faktor-faktor meningkatnya kecenderungan mahasiswa untuk menyukai pesta dugem. Dan kehidupan kampus, akan terasa sepi tanpa mengenal dugem.
Tetapi pertanyaan selanjutnya yang akan muncul adalah apakah harus menyelesaikan semua beban dan jenuhnya keseharian di dunia kampus dengan pesta dugem? Maka pengertian pesta yang lainnya muncul kemudian. Tidak banyak yang setuju bahwa dugem merupakan cara untuk menghilangkan penat yang ada, karena yang justru terjadi adalah pelarian sementara yang pada akhirnya justru akan mengarah kepada ‘ketagihan’. Sehingga pesta kemudian diartikan sebagai kegiatan bersenang-senang tanpa alkohol. Bagi sebagian mahasiswa, hanya dengan berjalan santai bersama-sama, menikmati pesta diskon di mal-mal, makan di banyak tempat dan diakhiri dengan ngobrol bareng, sudah merupakan pesta dan telah mampu menghilangkan penat mereka terhadap kehidupan kampus. Sehingga terlepas dari pesta apapun, kegiatan bersenang-senang merupakan kegiatan yang mampu melengkapi kebutuhan mahasiswa dewasa ini.
Buku, memang bagian penting dari mahasiswa; karena dengan buku mahasiswa akan menjadi lebih intelektual dan berbobot. Pengetahuan yang luas, prestasi yang memuaskan, merupakan hal yang didapatkan dari buku. Kampus sangat mendukung banyaknya referensi bacaan yang diharapkan mampu menjadikan mahasiswa merasa puas untuk memilih unversitas yang mereka masuki, serta sangat membantu mahasiswa untuk menyelesaikan tugas-tugas akademiknya. Tetapi di sisi lain, buku ternyata merubah kepribadian seorang mahasiswa. Misalnya, seorang mahasiswa dulunya sangat bijaksana dan memandang segala sesuatunya dengan netral, tetapi setelah dia mengenal buku dan mempelajari buku tertentu dan akhirnya ‘ketagihan’, yang terjadi selanjutnya adalah mahasiswa tersebut menjadi condong dan beraliran kiri ataupun kanan.
Ada banyak hal yang bisa kita dapatkan melalui buku, karena buku merupakan jendela dunia. Dan mahasiswa adalah kaum muda intelektual yang harusnya memahami pentingnya membaca buku.
Cinta anak kampus, merupakan kosakata yang paling banyak mendapatkan perhatian dari banyak kalangan. Banyak pengamat film misalnya, mengatakan bahwa cinta anak kampus merupakan tema yang paling banyak memikat hati penonton karena realita anak muda menuntut hal tersebut. Atau pemerhati musik beranggapan bahwa cinta merupakan bagian lirik yang paling banyak diminati oleh kaum muda.
Begitu pula yang terjadi dalam relita kehidupan kampus. Mahasiswa yang dalam masa pubertas, sudah mulai mencari cinta untuk melengkapi sisi kehidupannya. Ingin ada yang memperhatikan, ingin ada yang menyayangi dan berbagi, merupakan keinginan lumrah dari setiap mahasiswa saat ini. Namun seringkali tuntutan lingkungan anak muda untuk berbagi cinta justru menjerumuskan mahasiswa itu sendiri ke dalam jeratan cinta. Jeratan cinta? Kosakata apalagi ini? Ya, jeratan cinta seringkali memaksa mahasiswa untuk tidak berfikir rasional dan menganggap bahwa menjomblo (tanpa pacar) adalah hal yang tabu; sehingga seringkali mahasiswa menjadi salah kaprah dalam mencari cinta yang sesungguhnya. Salah kaprah yang dimaksud adalah mahasiswa seringkali memaksakan diri mereka untuk memiliki pacar tanpa mempunyai perasaan, pada akhirnya juga hal ini yang menjadikan mereka ‘ketagihan’. Yang terjadi kemudian adalah, prestasi mereka terganggu, kehidupan sosial mereka terganggu dan tentunya jiwa mereka juga terganggu. “Jangan pernah bermain cinta, karena mungkin cinta yang akan mempermainkan anda”, mungkin itu kalimat yang bisa dijadikan bahan renungan oleh mahasiswa di dalam kehidupan kampus.
Tiga kebijakan kehidupan kampus masa kini, dirasakan telah mampu melengkapi kehidupan mahasiswanya. Namun, hal mana dari kebijakan tersebut yang menjadi prioritas, kembali diberikan kepada masing-masing mahasiswa. Karena pilihan untuk mendahulukan pesta, buku ataupun cinta, pastilah memiliki konsekuensi masing-masing yang mungkin kadar dari konsekuensi tersebut juga ditentukan oleh mahasiswa itu sendiri melalui besar atau kecilnya intensitas dan keinginan mereka untuk ikut terlibat di dalamnya.
Globalisasi Informasi dan Pengaruhnya Terhadap Mahasiswa
Secara historis globalisasi berarti meluasnya pengaruh suatu kebudayaan atau agama ke seluruh penjuru dunia. Namun konsep dan istilah globalisasi yang digunakan semenjak tahun 1990-an, tidak dapat dipahami berdasarkan pengertian tersebut. Sebab, dalam istilah globalisasi saat ini terkandung sejumlah perkembangan terbaru di dunia, yang ditandai oleh sejumlah besar tendensi sosiologis yang amat kuat, yang tidak dikenal dalam masa-masa sebelumnya.[3]
Berbagai perkembangan yang terdapat dalam kandungan istilah globalisasi belum seluruhnya dapat diidentifikasi secara ilmiah dan secara budaya. Namun sudah ada sejumlah besar gejala yang terasa di depan mata,[4] seperti globalisasi informasi yang ada saat ini. Dengan semakin berkembangnya teknologi sebagai akibat dari globalisasi informasi, menjadikan pengguna media elektronik dapat dengan mudah mengakses berbagai informasi yang terjadi di belahan dunia lain tanpa harus kita yang berada di sana.
Tidak adanya pembatasan, terlebih pada media informasi seperti internet, menjadi memungkinkan pengiriman jumlah informasi tanpa batas dan dengan biaya yang jauh lebih murah. Hal ini menimbulkan efek sosial budaya yang meluas dan sulit untuk diantisipasi. Terlihat disini bahwa tanpa disengaja, dan tanpa dimaksudkan, internet telah berperanan sangat besar sebagai the great equalizer, yang selalu menjadi cita-cita dalam pendidikan, tetapi juga selalu gagal diwujudkan oleh pendidikan. Pendidikan lebih sering memantapkan perbedaan sosial daripada mengurangi atau menghilangkannya.
Dalam dunia pendidikan dan kehidupan kampus, pesta, buku dan cinta, menjadi sedemikian digemari oleh mahasiswa. Hal ini juga dilatarbelakangi oleh adanya perkembangan globalisasi informasi yang tanpa batas. Dengan pesatnya globalisasi informasi, akses untuk mendapatkan berbagai kemudahan, memanjakan semua penggunanya; terlebih untuk kaum muda yang haus akan rasa ingin tahu. Budaya intelektual yang menumbuhkan ide – ide kritis baik itu dalam diskusi, tulisan ataupun organisasi semakin tidak menarik minat mahasiswa. Hal ini terbukti dengan semakin sedikitnya jumlah mahasiswa yang mengikuti berbagai diskusi yang diadakan oleh kampus, ataupun jumlah mahasiswa yang berminat untuk menulis di dalam jurnal mahasiswa yang sudah tersedia.
Bertaburannya media – media informasi yang lebih banyak membawa unsur hiburannya dari pada wacana – wacana politik semakin menyingkirkan pula sikap kritis mahasiswa terhadap isu yang sedang terjadi. Diskusi – diskusi ataupun seminar – seminar yang selalu mengangkat isu – isu serta wacana yang sedang terjadi hanya ditanggapi oleh sebagian kecil mahasiswa sedangkan sebagian besarnya lagi lebih asik nongkrong di mall atau cafe – cafe menceritakan gosip selebritis terbaru ataupun gosip seputar kampus. Lebih peduli dengan infotainment yang gencar di tayangkan di televisi ketimbang dialog-dialog permasalahan dalam dan luar negeri, telah berkembang menjadi sesuatu yang sulit untuk diatasi.
Salahkah globalisasi informasi dengan keadaan yang demikian? Tidak ada yang bisa menyalahkan keadaan yang demikian. Perkembangan informasi dan lainnya, tidak bisa dipungkiri akan selalu membawa dampak yang positif dan negatif, karena kutub positif dan negatif akan selalu berada di sana untuk saling melengkapi. Namun, yang harus dilakukan kemudian adalah bagaimana meminimalisir dampak negatif tersebut dan menjadikan kembali mahasiswa sebagai kaum intelektual yang bukan hanya peduli terhadap diri sendiri, tetapi juga terhadap permasalahan bangsanya. Atau mungkin saja, keenganan mereka untuk mengurusi permasalahan bangsanya adalah sudah terlalu banyaknya masalah yang terjadi tanpa penyelesaian yang berarti. Akibatnya, mereka lebih cenderung untuk menikmati globalisasi informasi yang semakin mendekatkan mereka pada pesta, buku dan cinta.
Pragmatisme dan Apatisme Kaum Muda Intelektual
Seperti yang telah diutarakan sebelumnya bahwa pragmatisme dan apatisme muncul karena banyak faktor, baik karena semakin pesatnya akses kemudahan dari globalisasi informasi yang berkembang saat ini; atau bahkan sebagai bentuk reaksi lanjutan dari kekecewaan kaum muda intelektual terhadap permasalahan di dalam negeri ini. Pragmatisme dan apatisme, entah apapun pengertian terminologinya, pastilah seringkali diidentikkan dengan politik. Sedangkan politik sendiri, tidak akan pernah lepas dengan kekuasaan (power).
Terdapat banyak aktor yang turut andil dalam mengatur pergerakan di dalamnya. Salah satunya adalah mahasiswa sebagai penyokong perubahan politik itu sendiri. Keberadaan mahasiswa, baik di dalam dan di luar layar pergerakan perpolitikan, tidak pernah dianggap sebagai sebuah hal yang maya belaka. Walaupun kita semua tahu, tidak semua mahasiswa mengetahui politik dalam arti yang sebenarnya. Dari tuturan klasik dosen, ataupun kisah faktual ketatanegaraan; setiap mahasiswa memiliki definisi yang berbeda-beda dalam menafsirkan politik itu sendiri. Pengetahuan dan ilmu yang dimiliki oleh mahasiswa merupakan sebuah parameter tersendiri yang dapat dijadikan sebagai sebuah tolok ukur dalam menilai realita perpolitikan di dalam kampus atau bahkan untuk ruang lingkup yang lebih luas, yaitu pada tingkat ketatanegaraannya.
Ada banyak hal juga yang melatarbelakangi munculnya sikap pragmatisme dan apatisme kaum muda intelektual dewasa ini. Misalnya saja jika penulis kaitkan sedikit dengan keadaan perpolitikan Indonesia saat ini, budaya amplop untuk memenangkan proyek, budaya melakukan rapat tanpa maksud yang jelas demi hanya untuk menghabiskan anggaran yang diberikan, dan hal-hal lainnya yang dilakukan oleh aktor politik di Indonesia; jika ditarik sedikit kebelakang, pastilah juga berkaitan dengan kehidupan aktor-aktor pollitik tersebut pada jaman mahasiswa. Akibatnya, budaya tersebut menjadi mengakar dan sulit untuk di lepaskan. Salah elit yang dulunya juga bertindak demikian, atau justru salah kaum intelektual muda yang awalnya mengkritik mereka tetapi begitu mereka dihadapkan pada kekuasaan juga malah bertindak hal yang sama? Penulis pribadi pun takut untuk menjawabnya. Kenapa? Karena ketakutan untuk mengkritik akan berbalik arah pada penulis nantinya.
Tetapi itu dulu, ketika Soe Hok Gie dan teman-temannya masih berjuang untuk menjadikan perpolitikan di negeri ini menjadi lebih baik. Bahkan melalui tulisan kritisnya mengenai “Mahasiswa UI bopeng sebelah” karena ada pertarungan dua kubu kepentingan yang ingin menonjolkan back ground gerakannnya untuk menguasai politik kampus. Lalu apa yang akan dia katakan kemudian melihat realita yang terjadi saat ini, dimana sudah sangat jarang ditemui mahasiswa kritis yang mengkritik tanpa ingin mendapatkan reward atasnya?
Seperti yang telah terjadi kemudian bahwa akibat dari arus globalisasi informasi tanpa batas, menjadikan mahasiswa untuk apatis, lebih bersikap cuek dan semau gue. Sehingga mungkin lebih tepat apabila dikatakan bahwa sebagian besar mahasiswa Indonesia bopeng. Lihatlah bagaimana sering terjadi rebutan masa dunia kampus yang sudah melibatkan politisi, tetapi usaha untuk kembali membawa dunia intelektual yang kondusif belum kelihatan. Dan kemudian dibarengi oleh sikap pragmatis dari mahasiswa itu sendiri yang lebih mementingkan tujuan praktisnya tanpa berfikir lebih panjang sebab-akibat yang akan terjadi di belakangnya.
Tetapi, tidak pernah tidak, mahasiswa yang sudah berpedoman pada tiga kebijakan kehidupan kampus, dan pengaruh globalisasi ekonomi bagi kehidupan pribadi mereka, tetap akan memegang dan memainkan peranan yang sangat penting sebagai agen of chance dan agen of modernization dinamika kehidupan masyarakat saat ini.
Contoh lainnya adalah dewasa ini, demonstrasi mahasiswa semakin meluas. Tak jarang aksi tersebut diikuti dengan tindak kekerasan. Yang dapat terlihat dari kasat mata masyarakat perkotaan adalah sudah tidak murninya lagi aksi tersebut, sebagai akibat dari adanya pihak-pihak di luar mahasiswa yang kadang kala ikut menungganginya sebagai tindakan atas kepentingan pribadi atau kelompok. Orasi-orasi yang dikumandangkan ada kalanya tidak relevan, terlalu hiperbolis, terlalu memaksa, dan bersifat subyektif (tidak berdasarkan data); sehingga tak jarang pemerintah ataupun pihak yang berkuasa cenderung melecehkan mereka.
Dalam ruang lingkup tertentu, sebagian mahasiswa Indonesia mulai menganggap demonstrasi ataupun penyaluran orasi sebagai sesuatu yang membosankan, membuang-buang waktu, dan tidak bermanfaat. Hal ini terlihat dari banyaknya opini mahasiswa terhadap rekan-rekannya yang berdemonstrasi di luar kampus. Mereka berkecenderungan untuk berfikir bahwa belajar di kampus, mendapat indeks prestasi yang tinggi agar cepat lulus, sehingga dapat secepatnya merasakan dunia kerja; adalah sesuatu yang utama dan sangat dinanti-nantikan. Tapi ketika mereka memimpikan hal tersebut, mereka lupa bahwa idealisme dan daya kritis –hal yang sangat melekat dengan jiwa mahasiswa- menjadi terpendam atau boleh jadi hilang. Jika semua hal ini terjadi, maka pesta, buku dan cinta sebagai tiga kebijakan kehidupan kampus bisa dianggap menjadi tidak seimbang.
Mulai tumbuhnya gejala pragmatisme dan apatisme dalam pergerakan mahasiswa tersebut, juga terlihat dari kecenderungan untuk tidak perduli dengan masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Berkembangnya sikap individualistik yang berkembang ke arah hedonistik mengakibatkan pasifnya keinginan untuk ikut terlibat dalam gerakan mahasiswa. Sehingga tidak jarang kemudian, ketika mereka mencoba untuk berpolitik, aktivitas politiknya lebih didasari pada anggapan bahwa politik itu kotor dan tidak manusiawi. Hal tersebut secara tidak langsung tercermin pada orasi-orasi yang diutarakan. Jika hal tersebut dibiarkan begitu saja, akan timbul rasa tidak percaya dan curiga terhadap siapa saja yang menjalankan roda pemerintahan ini.
Kita semua tidak bisa memungkiri, seseorang yang pada dasarnya mempunyai prinsip untuk menjalankan politik dengan jujur, transparan, dan mengenali aspirasi rakyatnya; jika berhadapan langsung dengan kekuasaan yang mengekangnya dan sistem perpolitikan itu sendiri –yang mana dalam pengambilan kebijakan harus mengorbankan satu pihak demi pihak lain- pasti akan terdesak dan pada gilirannya akan mengamininya.
Mewabahnya pragmatisme dan apatisme mahasiswa Indonesia sekarang ini, secara tidak langsung bisa berdampak menekan tingkat kreativitas dan objektivitas -yang melatarbelakangi munculnya sikap kritis terhadap masyarakat dan Pemerintah- mahasiswa itu sendiri.
Dampak Sikap Pragmatisme dan Apatisme yang Mengakar
Munculnya ketakutan bahwa kecenderungan sikap instan dan tanpa berpikir panjang akan mampu mengarah ke sikap pragmatisme dan apatisme dari kaum intelektual mahasiswa, memang patut di waspadai. Realita yang terjadi belakangan ini mengenai semakin kerasnya globalisasi informasi menyerang mahasiswa tanpa adanya filter yang bisa menyaringnya, akan mampu mengoyak realita dengan mimpi-mimpi belaka.
Lihatlah bagaimana antusiasnya kawula muda untuk menonton tayangan MTV atau katakan cinta dari pada berduyun duyun melihat dan merasakan langsung dialog – dialog politik dalam negeri. Lihatlah pula bagaimana kaula muda berbondong-bondong untuk menonton konser musik, dibandingkan harus duduk mendengarkan seminar mengenai keadaan perpolitikan atau permasalahan di dalam negerinya. Mahasiswa sering lupa bahwa ketika mereka lebih senang menikmati pesta, dan mereka sudah enggan untuk mendengarkan atau mungkin mengkritik perpolitikan di negerinya, mereka tidak sadar bahwa masa depan negaranya di tentukan oleh tangan-tangan mereka.
Apa jadinya pula ketika kebijakan pesta, buku dan cinta tidak dapat berjalan seimbang? Sedangkan pergerakan globalisasi informasi semakin meyebar tanpa pegangan. Yang ada adalah kaum muda melarikan diri dari masalah dan meninggalkan bopeng-bopeng yang semakin menganga dan menyerahkan sepenuhnya hanya kepada harapan-harapan palsu. Saling menyalahkan, kemudian menjadi budaya baru yang mengakar mengikuti sikap instan, pragmatisme dan apatisme yang sekarang sudah mulai menyebar.
Penyadaran untuk kembali mengkondusifkan suasana berpikir kritis dan berani bertindak membutuhkan waktu tidak sebentar, namun usaha – usaha menghidupkan kembali melalui diskusi – diskusi kecil yang bisa menjadi bola salju yang besar masih terus berjalan dengan masih hidupnya organisasi pro demokrasi yang pernah jaya pada jamannya. Selain itu pola pikir yang tumbuh dalam jiwa – jiwa muda yang progresif harus bisa menggugah sebagian mahasisiwa lainnya untuk sama – sama bergerak membangun bangsa dengan kemampuan berkarya masing – masing.
Adalah tugas bagi kita untuk tidak membiarkan hal tersebut menyebar atau bahkan mengakar lebih dalam lagi. Karena mahasiswa Indonesia di dalam kehidupan kampus yang seimbang, adalah harapan rakyat dalam mengontrol jalannya pemerintahan dengan menjunjung moralitas, bersih, dan mampu membawa Negaranya ke arah yang lebih baik.
Penutup
Istilah pragmatis dan apatisme mahasiswa di dalam kehidupan kampus sering menjadi perdebatan yang serius bagi sesamanya. Menanggapi derasnya arus globalisasi informasi yang masuk ke dalam dunia-dunia kampus juga di dukung oleh kebijakan yang melegalkan pesta, buku, dan cinta di dalam kehidupan kampus. Adalah hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa pesta, buku, dan cinta memegang peranan yang sangat penting dalam menciptakan gejala-gejala tersebut. Adanya pilihan-pilihan untuk menjadikan salah satunya sebagai prioritas, merupakan konsekuensi yang akan di hadapi oleh masing-masing mahasiswa. Tetapi ketika semuanya menyerahkan hal tersebut kepada individu masing-masing tanpa didasari oleh keinginan untuk memperbaiki dan memperhatikan keadaan sosial yang terjadi di lingkungannya; maka apalah jadinya bangsa ini nantinya?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar