Selasa, 03 Mei 2011

Heboh Soal Hutang Malaysia ke Kerajaan Pagaruyung

Politikindonesia - Pemberitaan sebuah media nasional kini menjadi pembicaraan heboh masyarakat Sumatera Barat. Ini menyangkut kabar adanya hutang Malaysia terhadap Kerajaan Pagaruyung. Jumlah hutang itu tidak sedikit. Jika dikonversi dengan kurs saat ini nilainya mencapai Rp350 triliun. 
Konon, utang Malaysia pada Pagaruyung terjadi pada 1955. Saat itu, pemimpin pertama Malaysia Tuanku Abdul Rahman bertemu dengan Presiden Indonesia Soekarno. Kedua pemimpin itu, membicarakan soal kemerdekaan penuh Malaysia dari Inggris. Salah satu yang dibicarakan adalah soal keinginan Malaysia untuk mencetak uang. Akan tetapi, ketika itu Malaysia tidak memiliki jaminan atau kolateral berupa emas sebelum menerbitkan uang kertas.

Singkat cerita, akhirnya Malaysia mendapatkan pinjaman emas dari Pagaruyung. Setelah kolateral emas itu diterima dibuatlah sebuah perjanjian, Malaysia harus membayar pinjaman ini selama 30 hingga 40 tahun.

Berita heboh ini muncul dari Tabloid Kontan edisi Minggu (02/05). Media itu mengutip keterangan seorang warga negara Indonesia bernama E Suharto yang mengaku mengetahui tentang adanya dokumen resmi tentang perjanjian Malaysia-Indonesia tentang peminjaman emas tersebut. “Dokumen itu disimpan di Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda. Dan salinannya tersimpan di sebuah bank di Swiss,” ujarnya.

Malaysia disebut rutin membayar sampai 1988. “Sayangnya setelah 1989 hingga 2010, Malaysia tidak melanjutkan pembayaran.”

Masih berdasarkan keterangan E Suharto, hingga 1988 telah terkumpul uang RM125 miliar, yang merupakan hasil pembayaran emas. Namun uang tersebut, berbentuk ringgit lama. Agar bisa dipakai untuk bertransaksi, uang tersebut diremajakan dengan bantuan orang dekat Perdana Mentri Malaysia Abdullah Badawi, Datuk Amir. Tahun 2003 silam ia meyakinkan E.Suharto bisa menukar ringgit lama tersebut menjadi ringgit baru.

Menyadari, repatriasi ini urusan antarpemerintah, E.Suharto meminta bantuan kepada pemerintah. “Saya membuat surat resmi kepada pemerintah untuk bisa membantu proses repatriasi,” akunya.

Atas permintaan bantuan tersebut, muncullah dua lembar protective statement dari Bambang pada 2007 dan Sekretaris Kementrian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Sudi Silalahi, pada 2003 silam. E.Suharto juga ikut rapat di Depkeu untuk melancarkan repatriasi tersebut. Ia mengatakan tidak ada kongkalingkong, meskipun ada isu mengenai fee 15 persen dari pencairan tersebut. “Dalam surat itu Bambang menyatakan, ia dapat saran dari Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan, Mulia P.Nasution agar ringgit itu tetap diletakkan di Jakarta,” ujarnya.

Baru-baru ini E.Suharto mengirim surat kepada PM Najib untuk melanjutkan proses repatriasi. Ia ingin upayanya ini dilihat sebagai cara pengembalian aset bekas kerajaan Indonesia pada negara.

Masih Sumir

Kabar tentang adanya hutang Malaysia kepada Pagaruyung ini masih sumir dan sepihak. Para pejabat yang disebut-sebut dalam dokumen ini membantah adanya utang kepada Kerajaan Pagaruyung. Sementara Sudi Silalahi mengaku mendengar kabar tersebut dari media saja, tanpa bisa memastikan kebenarannya.

Adapun Wakil Duta Besar Malaysia di Jakarta Syed Muhammad Hasrin juga mengaku tidak mengetahui isu repatriasi ini karena tidak pernah melihat surat-suratnya. Begitu pula Mulia, yang terkejut karena namanya disebut-sebut dalam dokumen itu. “Hal seperti ini harus dicek serius, apalagi yang berkaitan dengan kejayaan masa lalu,” ujar Mulia.

Sementara itu, ahli waris Kerajaan Pagaruyung, Raudha Thaib mengaku tidak mengenal siapa sosok E. Suharto. “Saya tidak kenal, apa itu nama asli atau samaran,” kata Raudha.

Raudha mengaku belum tahu bila Malaysia meminjam uang pada Pagaruyung. Namun menurutnya, ikatan kekeluargaan antara Pagaruyung dan Malaysia, terutama Kerajaan Negeri Sembilan memang erat. Dikatakan Raudha, ia tahu banyak orang mengaku sebagai ahli waris Pagaruyung. “Setelah ini mungkin akan semakin banyak yang mengaku,” katanya.

Soal fakta dan data pinjam-meminjam ini, menurut Raudha harus diungkap dengan jelas. “Pertanyaannya sekarang apa bisa ditelusuri,” tanya Raudha.

Ahli Filologi Minang, Suryadi mengatakan ia akan segera meneliti kebenaran isu ini. Jika terbukti benar, sambung dia, hal ini akan menjadi warna baru bagi sejarah Indonesia-Malaysia, yang selama ini tidak terungkap. “Ini menarik dan perlu dikaji dengan pendekatan sejarah yang lebih komprehensif,” ujar peneliti yang saat ini mengajar di Leiden University, Belanda.

Untuk membuktikan hal ini, Suryadi berencana menelusuri data dan dokumen transaksi di Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda. “Saya berharap dokumen-dokumennya bisa diakses, karena sejarah Indonesia masih banyak yang belum terungkap dengan benar,” ujar Suryadi.

Terlepas dari benar atau tidaknya, yang jelas isu yang berkaitan dengan Indonesia-Malaysia dinilai perlu diusut tuntas, karena isu mengenai harta karun peninggalan sejarah tidak terdengar sekali ini saja.
(kap/rin/nis)
 
http://www.politikindonesia.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar